Proses hukum Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan menambah daftar panjang kasus korupsi sejumlah petinggi lembaga penegak hukum dan kementerian di penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai kasus kasus elite ini menurunkan citra penegakan hukum di bidang korupsi. Ia mengestimasi indeks persepsi korupsi (IPK) akan mengalami penurunan sejak mencapai puncaknya pada 2019 dengan skor 40 poin. “Ini akan memalukan Indonesia di mata global,” katanya.
Sementara itu, seorang praktisi hukum menengarai rentetan penangkapan terhadap petinggi negara belakangan ini bukan murni penegakan hukum, tapi ada kepentingan politis. Namun, pihak Istana membantah tuduhan tersebut dan mengatakan saat ini lembaga penegak hukum "sedang dalam proses mengungkap banyak kasus korupsi besar bahkan di level elite, tanpa pandang bulu”. Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka atas tuduhan pemerasan mantan menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang saat ini mendekam di penjara karena sangkaan menerima suap.
"Saya taat kepada hukum, menjunjung tinggi supremasi hukum," kata Firli kepada wartawan usai pemeriksaan di Mabes Polri, Jumat (01/12). Firli diperiksa kurang lebih 10 jam. Pada saat hampir bersamaan, Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp15 miliar. Kemudian, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej juga menyandang status tersangka karena dugaan menerima suap dan gratifikasi. 'Gak Suka Cowok' Mantan Artis Cilik Pamer Pacari Sesama Wanita, sang Ibu Mengizinkan: Asal Bahagia
Kronologi Hilangnya Nelayan Lansia Asal Mempawah Timur di Laut Firli Bahuri dan pengungkapan korupsi sejumlah petinggi negara di era Presiden Jokowi, 'mengapa baru sekarang?’ Kris Tomahu , Penyanyi Asal Maumere yang Memukau Juri X Factor Indonesia 2024
Identitas 2 ASN Gowa Dilapor ke KASN Nekat Edarkan Obat Keras, Kuli Bangunan Asal Kediri Mendekam di Penjara Kasus Firli Bahuri, Kubu SYL: Petinggi Parpol Diduga Terlibat dalam Sejumlah Proyek Kementan
Dapat Upah Rp5000, Mbah Semi Utang Beras Demi Makan, Dinsos Sebut Hidupnya %27Sangat Tidak Kekurangan%27 Halaman 4 Tidak selesai sampai di situ. Baru baru ini mantan ketua KPK, Agus Rahardjo, melayangkan tuduhan yang serius di media. Ia mengaku bertemu dan mendapat perintah Presiden Jokowi agar menghentikan kasus korupsi e KTP yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Namun, tuduhan ini dibantah pihak Istana. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan, “Setelah dicek, tidak ada pertemuan yang disebut sebut dalam agenda presiden”.
Jauh sebelum ini, sejumlah menteri di era pemerintahan Jokowi juga terseret kasus korupsi, seperti Jhonny G. Plate, Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, dan Idrus Marham. Bersama Syahrul Yasin Limpo yang berstatus tersangka, total terdapat enam menteri yang tersandung kasus korupsi di era Presiden Jokowi. Jumlah itu belum mencakup Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Berdasarkan penelusuran di media, menteri/wakil menteri yang terjerat kasus korupsi di era Presiden Jokowi lebih banyak dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (5 orang), dan Megawati Soekarnoputri (3 orang).
Sementara itu, era Presiden Jokowi juga mencatat sejarah karena dua hakim agung terjerat kasus korupsi, dan ketua KPK untuk pertama kali terjerat kasus pemerasan. Peneliti ICW, Diky Anandya, mengatakan banyaknya kasus yang menjerat petinggi negara pada era Jokowi “merupakan bentuk kegagalan Presiden Jokowi untuk menghadirkan kultur pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi”. “Penyebabnya sederhana, karena Presiden Jokowi dalam menunjuk seseorang sebagai menteri hanya didasarkan pada jatah terhadap partai koalisi, tanpa menimbang aspek integritas dan rekam jejak yang bersangkutan,” kata Diky kepada BBC News Indonesia, Jumat (01/12).
Diky juga menyinggung Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami kemunduran sejak mencapai puncaknya pada 2019, dengan skor 40 poin. Ini merupakan skor tertinggi sejak dua dekade. Skala IPK membentang antara 0 100. Semakin mendekati nol, semakin banyak pula korupsi negara tersebut. Begitu pun sebaliknya. Ia memperkirakan IPK Indonesia 2023 akan kembali merosot, salah satunya karena rangkaian kasus elite yang tersandung kasus korupsi.
“Ini akan memalukan Indonesia di mata global, terutama dalam upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi mengecewakan,” tutur Diky. Ia menambahkan kemunduran IPK pada 2020 dibandingkan 2019 disebabkan “pengebirian” kewenangan KPK secara kelembagaan melalui revisi UU KPK. Jika tidak ada gebrakan untuk mengembalikan independensi KPK, kata Diky, maka secara langsung akan mempengaruhi iklim investasi dan perekonomian secara umum di Indonesia. Musababnya, investasi di Indonesia sangat dipengaruhi tingkat IPK.
“Yang ikut disurvei [untuk IPK] itu kan pelaku usaha. Akan punya pengaruh langsung terhadap investasi dan ekonomi,“ tambah Diky. Praktisi hukum sekaligus aktivis HAM, Asfinawati, berpandangan rangkaian kasus yang menjerat elite di Pemerintahan Jokowi “bukan murni penegakkan hukum”. “Tapi ada kepentingan politik, karena hal hal ini dilakukan ketika ada momentum politik, ada perpecahan di antara mereka [elite politik],” katanya.
Indikasinya, tambah Asfinawati, Ketua KPK Firli Bahuri baru ditetapkan sebagai tersangka jelang pemilu. Padahal, kata dia, Firli sudah sejak awal dikecam duduk menjadi ketua KPK, sementara selama menjadi orang nomor satu di lembaga antirasuah, ia banyak menuai kontroversi. “Kenapa baru sekarang, dan setelah dia acak acak KPK sedemikian jauh,” katanya.
Sejurus dengan Diky, Asfinawati juga melihat ada peluang bagi pemerintahan Jokowi untuk mengembalikan independensi KPK, tidak lagi menjadi lembaga di bawah eksekutif dengan karyawanya sebagai ASN. Di sisi lain, Asfinawati mengaku “skeptis” ada perubahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, masa purnabakti Jokowi sebagai presiden kemungkinan akan ada estafet lewat anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini ikut kontestasi Pilpres 2024.
“Ini saya pikir akan berpengaruh pada pilihan politik penegakkan hukumnya,” kata Asfinawati. Manuver politik keluarga Jokowi dalam pemilu 2024 ini dituduh sejumlah kalangan sebagai nepotisme, dan telah dilaporkan ke KPK. Meskipun langkah ini dijawab ringan oleh Gibran: “Ya, biar ditindaklanjuti KPK. Monggo, silakan.” Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, mengatakan rentetan kasus petinggi negara yang terungkap belakangan ini “bukan politisasi kasus”.
“Bagi kami di pemerintah yang diperlukan adalah dukungan penguatan komitmen politik dalam pemberantasan korupsi,” kata Rumadi dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Jumat (01/12). Menurutnya saat ini baik KPK, Polri dan Kejaksaan Agung, “sedang dalam proses mengungkap banyak kasus korupsi besar bahkan di level elit, tanpa pandang bulu”. Namun, Rumadi mengakui kalau proyeksi IPK Indonesia 2023 “cukup berat”. Hal ini karena persepsi dan integritas penegak hukum yang kurang baik saat ini akan berpengaruh terhadap IPK.
“Skor kita di indikator penegakan hukum yang dinilai oleh World Justice Project hampir selalu rendah, bahkan di bawah rerata dunia,” katanya. Rumadi menambahkan, hal lain yang perlu dicermati adalah terjadinya penurunan tren IPK yang terjadi sejak tahun 2020, pascarevisi UU KPK. “Korelasi antara penurunan skor IPK, dan revisi UU KPK dapat dipahami sebagai persepsi negatif yang terbangun di publik, karena DPR dan pemerintah dianggap memperlemah KPK,” katanya.
Untuk memperbaiki persepsi publik terhadap korupsi di Indonesia, dalam sisa waktu Pemerintahan Jokowi satu tahun ke depan, akan mendorong percepatan pembahasan hingga penerbitan RUU Perampasan Aset. “Salah satu isu yang mengemuka, adalah bagaimana kita mengejar dan merampas aset pada koruptor dan pelaku tindak pidana pencucian uang agar sepenuhnya kembali kepada negara,” kata Rumadi. Ia melanjutkan, bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh FATF (Financial Action Task Force) bulan Oktober 2023 lalu adalah bukti nyata komitmen pemerintah melalui PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebagai koordinatornya, untuk mewujudkan sistem keuangan yang lebih terpercaya dan akuntabel dalam rangka pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang, Korupsi, dan Terorisme.
“Hal ini adalah kepercayaan sekaligus tanggung jawab yang harus dijaga dan dipastikan pemenuhan komitmennya, tidak hanya oleh eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif,” tambah Rumadi. Kata dia, selain penindakan dan penguatan regulasi, pencegahan korupsi juga akan terus dilakukan melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dengan menyasar sektor strategis seperti reformasi pelabuhan, digitalisasi pengadaan barang jasa, penguatan kapasitas dan kelembagaan inspektorat, serta akuntabilitas keuangan partai politik. “Pemerintah pun sudah menyediakan kanal pelaporan melalui kanal LAPOR.go.id SMS ke 1708, atau juga lewat email [email protected], dengan terbukanya kanal aduan ini kami harapkan agar masyarakat semakin berani melapor, terlibat secara aktif, dengan kerahasiaan dan keamanan terjamin,” tandas Rumadi.